Mereka hidup di kota-kota besar bagaikan tikus, bisa apa mereka? Modal nekat saja lah yang mereka punya. Penjahat, pengangguran, pengamen, pedagang kaki lima, sektor informal tak jelas, dan tenaga kasar disanalah mereka berkutat, bahkan banyak yang tak segan menjadi pengemis! Absrud sekali mereka bertaruh, memainkan kehidupan damai mereka di desa untuk pergi "berjuang" di ganasnya hutan rimba ibu kota.
Suatu saat aku bertanya pada seorang pendatang berumur 19 tahun dari madura, mengapa dia pindah ke ibu kota, dengan polosnya jawabannya "kalo di kampung, mau kerja apa". Dalam hatiku aku berkata, " justru di jakarta ini mau jadi apa lu" padahal dia bercerita orang tuanya ingin menyekolahkan dia di bangku kuliah. Satu kata, ABSURD!
Kebanyakan pendatang ibukota kurang, bahkan tidak memiliki skill dan ilmu pengetahuan yang memadai, ijasah? Sma dan smp pun mereka nekat pergi ke ibu kota. Yang lebih parah, kepedulian mereka semasa di kampung luntur dan berubah menjadi keapatisan busuk!
Parahnya, mereka minta di perhatikan pemerintah, sok sokan bilang rakyat kecil, padahal pemerintah telah menawarkan solusi berupa transmigrasi, namun mereka enggan meninggalkan ibu kota. Mereka minta sehat, mengeluh banjir, padahal mereka buang itu namanya sampah di sungai dan di saluran air, kadang di lobang belakang kampung, tanpa berfikir solusi kongkritnya.
Mereka tak mau macet, tapi mereka pergi ke kota besar, yang jelas-jelas mereka sendiri yang membuat sumpek. Ketika tempat tinggal illegal mereka di gusur, dengan barbar dan anarkis mereka meronta berontak membabi buta terhadap hamba hukum pelaksana esekusi lahan.
Lantas?
Ke absurdan apa lagi yang anda minta!
Monday, 28 November 2011
Mereka dan ke absurdan nya
Related Posts
Salam anak di rantau
28/11/2011 - 0 Comments
Kesendirian, Kehampaan dan blogging
28/11/2011 - 0 Comments
0 comments